Total Tayangan Halaman

Selasa, 02 November 2010

Paradigma Hubungan Agama-Iptek


     Bagaimana hubungan agama dan iptek? Secara garis besar, berdasarkan tinjauan ideologi yang mendasari hubungan keduanya, terdapat 3 (tiga) jenis paradigma (Lihat Yahya Farghal, 1990: 99-119):
Pertama, paradagima sekuler, yaitu paradigma yang memandang iptek adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat, agama telah dipisahkan dari kehidupan (fashl al-din ‘an al tidak dinafikan eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam pribadi manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur umum/publik. Paradigma ini memandang agama dan iptek mencampuri dan mengintervensi yang lainnya. Agama dan iptek sama terpisah baik secara ontologis (berkaitan dengan pengertian atau hakikat sesuatu hal), epistemologis (berkaitan dengan cara memperoleh dan aksiologis (berkaitan dengan cara menerapkan pengetahuan). Paradigma ini mencapai kematangan pada akhir abad XIX di Barat sebagai jalan keluar dari kontradiksi ajaran Kristen (khususnya teks Bible) dengan penemuan ilmu pengetahuan modern.
Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek. Iptek bisa berjalan secara independen dan lepas secara total dari agama. Paradigma ini mirip dengan paradigma sekuler di atas, tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, hanya dibatasi perannya dalam hubungan vertikal manusia dalam paradigma sosialis, agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-exist) dan dibuang sama sekali dari kehidupan. Paradigma tersebut didasarkan pada pikiran Karl Marx (w. 1883) yang memandang agama (Kristen) sebagai candu masyarakat, karena agama menurutnya membuat orang terbius dan lupa akan penindasan kapitalisme yang kejam. Karl Marx mengatakan:
“Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of the heartless just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people. (Agama adalah keluh-kesah makhluk tertindas, jiwa dari suatu dunia yang berjiwa, sebagaimana ia merupakan ruh/spirit dari situasi yang ruh/spirit. Agama adalah candu bagi rakyat).
Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam –yang terwujud dalam apa dalam al-Qur`an dan al-Hadits– menjadi qa’idah fikriyah pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia (An-Nabhani, 2001). Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini kita pahami dari ayat yang pertama kali turun (artinya) :
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. [96]: 1).
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan Aqidah Islam (Al-Qashash, 1995: 81). paradigma yang dibawa Rasulullah Saw (w. 632 M) yang meletakkan Aqidah Islam yang berasas Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah sebagai asas ilmu pengetahuan. Beliau mengajak memeluk Aqidah Islam lebih lalu setelah itu menjadikan aqidah tersebut sebagai pondasi dan standar berbagai pengetahun. Ini dapat ditunjukkan misalnya dari suatu peristiwa ketika di masa Rasulullah Saw terjadi gerhana matahari, yang bertepatan dengan wafatnya putra beliau (Ibrahim). Orang-orang berkata, matahari ini terjadi karena meninggalnya Ibrahim.” Maka Rasulullah segera menjelaskan:
“Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah. Dengannya Allah memperingatkan hamba-hamba-Nya Bukhari dan an-Nasa`i] (Al-Baghdadi, 1996: 10).
Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah Saw telah meletakkan Aqidah sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa fenomena alam adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada hubungannya dengan nasib seseorang. Hal ini sesuai dengan aqidah muslim yang tertera dalam al-Qur`an:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang berakal.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 190).
Inilah paradigma Islam yang menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar segala pengetahuan seorang muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek. Itulah hasil prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini yang dapat dilihat kejayaan iptek Dunia Islam antara tahun 700 – 1400 M. Pada masa dikenal nama Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur, Khawarzmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi, Al (858) sebagai ahli astronomi dan matematika, Al-Razi (w. 884) sebagai kedokteran, ophtalmologi, dan kimia, Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai kedokteran dan teknik, dan masih banyak lagi (Tentang kejayaan iptek Dunia Islam lihat misalnya M. Natsir Arsyad, 1992; Hossein Bahreisj, 1995; Ahmed dkk, 1999; Eugene A. Myers 2003; A. Zahoor, 2003; Gunadi dan Shoelhi, 2003).
Aqidah Islam Sebagai Dasar Iptek
Inilah peran pertama yang dimainkan Islam dalam iptek, yaitu aqidah harus dijadikan basis segala konsep dan aplikasi iptek. Inilah paradigma sebagaimana yang telah dibawa oleh Rasulullah Saw. Paradigma Islam inilah yang seharusnya diadopsi oleh kaum muslimin saat ini, Bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Diakui atau tidak, umat Islam telah telah terjerumus dalam sikap membebek dan mengekor dalam segala-galanya; dalam pandangan hidup, gaya hidup, termasuk dalam konsep ilmu pengetahuan. Bercokolnya paradigma sekuler inilah yang menjelaskan, mengapa di dalam sistem pendidikan yang diikuti diajarkan sistem ekonomi kapitalis yang pragmatis serta tidak kenal haram. Eksistensi paradigma sekuler itu menjelaskan pula mengapa diajarkan konsep pengetahuan yang bertentangan dengan keyakinan keimanan muslim.
Jadi, yang dimaksud menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan bukanlah bahwa konsep iptek wajib bersumber kepada al-Qur’an dan al- Hadits, tapi yang dimaksud, bahwa iptek wajib berstandar pada al qur’an dan al-Hadits. Ringkasnya, al-Qur`an dan al-Hadits adalah standar (dan bukannya sumber (mashdar) iptek. Artinya, apa pun konsep iptek dikembangkan, harus sesuai dengan al-Qur`an dan al-Hadits, dan tidak bertentangan dengan al-Qur`an dan al-Hadits itu. Jika suatu konsep bertentangan dengan al-Qur`an dan al-Hadits, maka konsep itu ditolak. Misalnya saja Teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia adalah hasil evolusi dari organisme sederhana yang selama jutaan tahun berevolusi melalui seleksi alam menjadi organisme yang lebih kompleks hingga menjadi manusia modern sekarang. Berarti, manusia sekarang bukan manusia pertama, Nabi Adam AS, tapi hasil dari evolusi organisme sederhana. Ini bertentangan dengan firman Allah SWT yang menegaskan, Adam adalah manusia pertama, dan bahwa seluruh manusia sekarang adalah keturunan Adam AS itu, bukan keturunan makhluk lainnya sebagaimana fantasi Teori Darwin (Zallum, 2001). Firman Allah SWT:
“(Dialah Tuhan) yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian menciptakan keturunannya dari sari pati air yang hina (mani).” [32]: 7).
Implikasi lain dari prinsip ini, yaitu al-Qur`an dan al-Hadits hanyalah standar iptek, dan bukan sumber iptek, adalah bahwa umat Islam boleh mengambil iptek dari sumber kaum non muslim (orang kafir). Dulu Nabi Saw penggalian parit di sekeliling Madinah, padahal strategi militer itu berasal tradisi kaum Persia yang beragama Majusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar