Total Tayangan Halaman

Rabu, 08 Desember 2010

Makna Pergantian Tahun Hijriyah

Bismillah…
Tak terasa kita telah memasuki Tahun baru Hijriyah 1432, Bulan Muharram, merupakan bulan pertama dalam kalender Islam. Adapun kata Muharram berasal dari kata “harrama” yang mengalami perubahan bentuk menjadi “yuharrimu-tahriiman-muharraman-muharrimun“. Bentukan “muharraman” berarti yang diharamkan. Apa yang diharamkan ? Perang atau pertumpahan darah! Sebagaimana firman Allah SWT
dalam surat At-Taubah ayat 36:
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah sebagaimana disebut di Kitabullah ada 12 bulan sejak Allah menciptakan langit dan bumi, dan terdapat 4 bulan di dalamnya merupakan bulan yang diharamkan”.

Ada sebuah peristiwa yang bersejarah di dalam Bulan Muharram, yakni peristiwa Hijrah-nya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, yakni pada tahun 622 M. Hijrah itu sekaligus menjadi tonggak awal dimulainya kalender Islam. Ini artinya hijrah Rasulullah SAW beserta para sahabatnya ke Madinah telah berumur 1431 tahun. Sebuah peristiwa bersejarah yang patut dikenang dan bisa menjadi proses transformasi spiritual. Di dalamnya terkandung makna dan keteladanan untuk sebuah pengorbanan sejati yang mengapresiasikan perlawanan akan kebathilan sekaligus sikap konsisten mengedepankan kepentingan misi dari kepentingan apa pun, agar ia tetap lestari dan terjaga dari kepunahan meski karenanya harus berdarah-darah mereka harus meninggalkan negeri, harta, sanak dan handai taulan tercinta.
Secara harfiah hijrah artinya berpindah. Secara istilah ia mengandung dua makna yaitu, hijrah makani dan hijrah maknawi . Hijrah makani artinya hijrah secara fisik berpindah dari suatu tempat yang kurang baik menuju yang lebih baik dari negeri kafir menuju negeri Islam. Adapun hijrah maknawi artinya berpindah dari nilai yang kurang baik menuju nilai yang lebih baik, dari kebathilan menuju kebenaran, dari kekufuran menuju keislaman. Makna terakhir oleh Ibnu Qayyim bahkan dinyatakan sebagai al-hijrah al-haqiqiyyah. Alasannya hijrah fisik adalah refleksi dari hijrah maknawi itu sendiri. Dua makna hijrah tersebut sekaligus terangkum dalam hijrah Rasulullah SAW dan para sahabatnya ke Madinah. Secara makani jelas mereka berjalan dari Mekah ke Madinah menempuh padang pasir sejauh kurang lbh 450 km. Secara maknawi jelas mereka hijrah demi terjaganya misi Islam.
Al-Qahthani menyatakan bahwa hijrah sebagai urusan yang besar. Hijrah berhubungan erat dengan al-wala’ wal-bara’, bal hiya min ahammi takaalifahaa, bahkan ia termasuk manifestasi yang paling penting. Penting karena menyangkut ketepatan sikap seorang muslim dalam memberikan perwalian kesetiaan dan pembelaan. Juga menyangkut ketepatan seorang muslim dalam menampakkan penolakan dan permusuhan kepada yang patut dimusuhi. Dalam sejarah para rasul juga dekat dengan tradisi hijrah dan semua atas semangat penegasan batas sebuah loyalitas kesetiaan keimanan yang berujung menuju kepada yang lebih baik atas ridha Allah SWT. Sebut misalnya Nabi Ibrahim Khalilullah beliau telah melakukan hijrah beberapa kali dari Babilon ke Palestina dari Palestina ke Mesir dari Mesir ke Palestina lagi, semua demi risalah suci.
Ibrah dari dari peristiwa hijrah adalah sebuah pengorbanan. Setelah para sahabat keluar dari ujian berupa siksaan dan cercaan dari Kafir Quraisy di Mekah tidak otomatis menjadikan mereka bebas dari ujian berikutnya. Yang paling gamblang adalah cobaan meninggalkan kemapanan. Tengoklah bagaimana sahabat meninggalkan keluarga tercinta rumah pekerjaan tanah air dan sanak kadang dan handai taulan.
Secara lahiriyah umumnya naluri manusia akan menyatakan ujian itu sungguh berat. Meninggalkan nilai material yang barangkali selama ini mereka rintis dan perjuangkan. Berpindah ke suatu tempat asing yang penuh spekulasi. Toh kecintaan para sahabat akan Islam mengalahkan kecintaan pada semua itu. Kesucian akidah di atas segalanya. Hal ini sekaligus menegaskan betapa maslahat “din” menempati pertimbangan tertinggi dari maslahat-maslahat yang lain. Pelajaran lain hijrah menegaskan adanya perseteruan abadi antara kebatilan versus kebenaran.
Allah SWT berfirman dalam Surat Al Baqarah ayat 147 yang artinya : “Kebenaran itu datang dari Rabb-mu maka jangan sekali-kali engkau termasuk orang yang ragu-ragu”. Untuk menangkap spirit hijrah lebih jauh rumusan sederhana Ibnu Qayyim cukup menarik katanya dalam kata hijrah terkandung arti berpindah “dari” dan berpindah “menuju”. Maksudnya berpindah dari yang semula tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya menuju kepada yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Jika rumusan global tersebut betul-betul dihayati tiap muslim untnk selanjutnya secara konsisten diterapkan dalam sendi-sendi kehidupan barangkali nasib umat ini secara umum akan lebih baik dari sekarang, karena dalam dirinya terdapat potensi raksasa/kekuatan yang luar biasa, yang apabila digali dan dimanaje dengan sungguh-sungguh akan mengantarkan kepada kehidupan kita yang jauh lebih baik, lurus, dan cerah. Ketidak sadaran akan potensi dirinya akan berdampak kepada pengkerdilan potensi itu sendiri. Sehingga manusia (kita) sering tidak berdaya dalam menghadap persoalan hidup.
Bentuk ketidaksadaran akan potensi diri ini bisa bersifat individu atau kolektif. Dalam tataran individu hal itu akan membuat individu yang bersangkutan mengalami kelumpuhan berfikir, kelumpuhan nurani dan kelumpuhan beraksi yang akhirnya bisa menimbulkan sifat “malas”. Selanjutnya akan dapat menimbulkan pola pikir yang “seandainya, jikalau , umpama” (seandanya saya jadi orang kaya, jikalau saya seorang pejabat dll). Sedangkan dalam skala kolektif akan menimbulkan kelumpuhan satu bangsa, satu generasi atau satu ummat, sehingga akan melahirkan generasi yang mandul, ummat yang rapuh dan bangsa yang stagnan. Padahal Allah sudah memberikan peringatan dalam Al-Qur’an (QS. Ali Imran:139) :
“Dan janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi jika kamu orang-orang yang beriman”.
Dalam menafsirkan ayat di atas Sayyid Quthb berkata : Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah kamu bersedih hati atas apa yang menimpamu; dan jangan pula kamu bersedih hati atas apa yang lepas dari tanganmu, padahal kamu adalah orang-orang yang tinggi. Akidah kalian lebih tinggi karena kalian bersujud pada Allah semata sedangkan mereka menyembah pada salah satu makhlukNya atau sebagian dari makhluknya. Manhaj hidup kalian lebih tinggi sebab kalian berjalan di atas manhaj Allah sedangkan mereka berjalan di atas manhaj ciptaan makhlukNya. Peran kalian lebih tinggi sebab kalian mendapat tugas untuk memberi petunjuk kepada manusia secara keseluruhan yang sedang berjalan tanpa manhaj atau menyimpang dari manhaj yang lurus. Posisi kalian di muka bumi lebih tinggi sebab kalian adalah pewaris bumi yang Allah janjikan pada kalian, sedangkan mereka menuju pada kebinasaan dan dilupakan. Maka jika kalian benar-benar beriman pasti kalian akan lebih tinggi, dan janganlah kalian bersikap lemah serta bermuramdurja (Tafsir Fi Zhilal al Quran,I/480).
Sementara itu menurut Imam Asy Syaukani teks ayat di atas dari segi makna saling berkaitan. Artinya jika kamu beriman maka janganlah kamu bersedih, atau jika kamu beriman maka kamulah orang yang paling tinggi (Fath al Qadir,I/384).
Hal serupa bisa kita dapatkan dalam teks ayat yang lain, yaitu QS. Ali Imran : 146 :
“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah SWT, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.
Begitu pula dengan FirmanNya QS.Muhammad : 35 :
“Maka janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah (pun) beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu”.
Sering kita tidak menyadari bahwa kita memiliki potensi untuk mengatur menjadi “imam” umat lain, menjadi imam peradaban dan budaya. Sesungguhnya Allah membuka kesempatan bagi kita untuk menjadi ummat terbaik di mata dunia. Kita sering lupa bahwa Allah memberi kita potensi untuk menjadi umat pilihan, ummat penengah yang mampu memberikan rahmat dan kesejukan pada sesama, mampu menebarkan keadilan, melindungi hak-hak manusia dan menghargai martabat mereka. Sebagaimana Firman Nya dalam QS.Ali Imran:110 :
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah SWT”.
Juga dalam QS.Al Baqarah:143 :
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi (perbuatan) manusia”.
Dari ayat-ayat di atas dapat kita pahami sesungguhnya Allah SWT telah mendesain kita (umat Islam) sebagai umat pilihan, umat yang dapat mendatangkan kesejukan, memberikan rasa nyaman, memberikan keadilan dan menghargai martabat manusia. Namun terkadang akibat keserakahan, ketamakan, iri dengki, hasud dsb kita jauh keluar jalur dari desain Allah. Sehingga akibatnya tidak hanya merugikan si pelaku tapi juga mengakibatkan kerugian kepada yang lain. Juga karena perbuatan manusia yang di luar desain Allah mengakibatkan Agama Islam yang begitu tinggi dan mulia menjadi ternoda, efeknya akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak senang dengan Islam (musuh Islam) dengan menciptakan opini publik, pelabelan-pelabelan bahwa Islam itu radikal, militan, identik dengan teroris dsb. Padahal sesungguhnya Islam itu adalah agama pembawa kedamaian bahkan sebagai rahmatan lil’alamiin.
Kesimpulan : Orang-orang beriman bisa melejitkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya secara maksimal dalam bingkai keimanan dan ketaqwaan jika mampu menyuruh manusia untuk berbuat baik, menebarkan kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang mungkar yang merugikan manusia lainnya. Kita akan dianggap kelompok orang yang beriman jika dalam setiap gerak kita aksi kita selalu bertaburan kebaikan dan sepi dari kemungkaran. Kesadaran untuk menjadi mukmin secara hakiki akan mengantarkan kita kepada pola pikir dan aksi yang positif, mendorong kita untuk melakukan kerja besar dan menghindarkan kita dari perbuatan/pekerjaan yang sia-sia. Kesadaran bahwa kita mendapat asuransi bersyarat dari Allah sebagai umat terbaik, umat pilihan, dan saksi bagi segenap manusia akan memacu, mendorong serta menggerakkan kita untuk melakukan agenda strategis untuk mengangkat derajat umat islam yang sedang dirugikan oleh cara berpikir dan berperilaku yang keliru.
Oleh karena itu kita harus mulai dari diri kita (ibda’ binafsik) selanjutnya kesadaran individu harus bermetamorfosis menjadi kasadaran kolektif, menjadi kesadaran umat, sehingga kita mampu menempatkan diri pada tempat yang seharusnya. Kita harus menjadi umat yang mulia dan bukan menjadi hina. Kita harus menjadi umat yang memimpin dan bukan yang dipimpin. Kita harus menjadi Khairul Ummah (ummat yang terbaik) dalam bingkai keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Umat Islam Indonesia harus memahami makna hijrah secara makro. Hijrah bukan hanya pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya. Tapi makna hijrah secara luas adalah perubahan, termasuk perubahan pola pikir dalam menempuh perjalanan hidup di dunia ini. Wallahu a’lam. Bishowab.

Sabtu, 04 Desember 2010

Introspeksi Diri [Muhasabah].

Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab dan timbanglah amal perbuatan kamu sebelum amal itu ditimbang

oleh Anwar Baru Belajar

Tatkala kudatangi sebuah CERMIN, Tampaklah sosok yang sudah sangat lama kukenal dan sangat sering kulihat. Namun aneh… Sesungguhnya aku BELUM MENGENAL siapa yang kulihat.
Tatkala kutatap WAJAH, hatiku bertanya : Apakah wajah ini yang kelak akan bercahaya Dan bersinar indah di Surga sana? Ataukah wajah ini yang hangus legam di Neraka Jahanam?
Tatkala kumenatap MATA, nanar hatiku bertanya : Mata inikah yang akan menatap Allah.. Menatap Rasulullah, dan Kekasih-kekasih Allah kelak? Ataukah mata ini yang terbeliak, melotot, terburai menatap neraka jahanam? Akankah mata penuh maksiat ini akan menyelamatkan? Wahai mata , apa gerangan yang kau tatap selama ini?
Tatkala kutatap MULUT.. Apakah mulut ini yang kelak mendesah penuh kerinduan Mengucap LAA ILAAHA ILLALLAAH saat malaikat maut menjemput? Ataukah menjadi mulut yang menganga dengan lidah menjulur, dengan lengkingan jerit pilu … yang mencopot sendi-sendi setiap yang mendengar? Ataukah mulut ini jadi pemakan buah zaqun jahanam yang getir, penghangus dan penghancur setiap usus?
Apakah gerangan yang engkau ucapkan Wahai mulut yang malang? Berapa banyak dusta yang engkau ucapkan? Berapa banyak hati yang remuk … Dengan sayatan pisau kata-katamu yang mengiris tajam? Berapa banyak kata-kata semanis madu… Yang palsu yang engkau ucapkan untuk menipu? Berapa sering engkau berkata jujur? Berapa langkanya engkau dengan syahdu memohon agar Allah mengampunimu?
Tatkala kutatap TUBUHku, apakah tubuh ini… Yang kelak menyala penuh cahaya bersinar… Bersuka cita dan bercengkrama disurga? Ataukah tubuh yang akan tercabik-cabik hancur mendidih… Dalam lahar neraka jahanam, Terpasung tanpa ampun, Menderita yang tak akan pernah berakhir?
Wahai tubuh , berapa banyak maksiat yang telah engkau lakukan? Berapa banyak orang-orang yang engkau zalimi dengan tubuhmu? Berapa banyak hamba-hamba yang lemah… Yang engkau tindas dengan kekuatanmu? Berapa banyak perindu pertolongan yang engkau acuhkan- tanpa peduli, Padahal engkau mampu? Berapa banyak hak-hak yang engkau rampas?
Ketika kutatap hai tubuh, Seperti apakah gerangan isi HATImu? Apakah isi hatimu sebagus kata-katamu? Ataukah sekotor daki-daki yang melekat ditubuhmu? Apakah hatimu segagah ototmu. Ataukah selemah daun-daun yang sudah rontok? Apakah hatimu seindah penampilanmu, Ataukah sebusuk kotoran-kotoranmu?
Betapa beda…. Betapa BEDA apa yang tampak di cermin dengan apa yang tersembunyi… Aku telah tertipu oleh TOPENG yang selama ini tampak Betapa banyak pujian yang terhampar hanyalah memuji topeng Sedangkan aku…. hanyalah seonggok sampah yang terbungkus
Aku tertipu… Aku malu Ya Allah… Ya Allah… selamatkan aku…. Amin…Ya Rabbil ‘alamin
( Abdullah Gymnastiar dalam buku Ir. Permadi Alibasyah ” Sentuhan kalbu”)
Muhasabah (introspeksi) pada jiwa ada dua macam: sebelum beramal dan setelah beramal. Muhasabah sebelum beramal yaitu hendaknya seseorang menahan diri dari keinginan dan tekadnya untuk beramal, tidak terburu-buru berbuat hingga jelas baginya bahwa jika ia mengamalkannya akan lebih baik daripada meninggalkannya.
Al-Hasan rahimahullah mengatakan: “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berhenti (untuk muhasabah) saat bertekad (untuk berbuat sesuatu). Jika (amalnya) karena Allah, maka ia terus melaksanakannya dan jika karena selain-Nya ia mengurungkannya.”
Sebagian mereka (ulama) menjabarkan ucapan beliau seraya mengatakan: “Jika jiwa tergerak untuk mengerjakan suatu amalan dan seorang hamba bertekad melakukannya, maka ia (mestinya) berhenti sejenak dan melihat, apakah amalan itu dalam kemampuannya atau tidak? Jika tidak dalam kemampuannya maka tidak dilakukan, tapi kalau mampu maka ia berhenti lagi untuk melihat apakah melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya atau (bahkan) meninggalkannya lebih baik? Kalau (keadaannya adalah) yang kedua maka ia tidak melakukannya.
Kalau yang pertama maka ia berhenti untuk ketiga kalinya dan melihat: apakah pendorongnya adalah keinginan mendapatkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pahalanya atau sekedar kedudukan, pujian dan harta dari makhluk? Kalau yang kedua maka ia tidak melakukannya walaupun akan menyampaikan pada keinginannya, agar supaya jiwa tidak terbiasa berbuat syirik dan tidak terasa ringan untuk beramal demi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena seukuran ringannya dalam beramal untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, seukuran itu pula beratnya dalam beramal untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, hingga hal itu menjadi sesuatu yang paling berat buatnya. Kalau ternyata pendorong amalnya adalah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ia berhenti lagi dan melihat: apakah ia akan dibantu dan ia dapati orang-orang yang membantunya –jika amalan itu memang membutuhkan bantuan orang lain– atau tidak ia dapatkan? Kalau tidak didapati yang membantu, hendaknya ia menahan dari amalan tersebut. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menahan diri untuk berjihad ketika di Makkah hingga beliau mendapatkan orang yang membantunya dan punya kekuatan. Kalau ia mendapatkan orang yang membantu, maka lakukanlah, niscaya ia akan ditolong. Dan keberhasilan tidak akan lepas kecuali dari orang yang melewatkan satu perkara dari perkara-perkara tadi. Jika tidak, maka dengan terkumpulnya semua perkara itu niscaya takkan lepas keberhasilannya.” Demikian empat keadaan yang seseorang butuh untuk memuhasabah jiwanya sebelum beramal. Tidak semua yang ingin dilakukan oleh seorang hamba itu mampu dilakukan, dan tidak setiap yang mampu dilakukan itu berarti melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya. Dan tidak setiap yang demikian itu ia lakukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak pula setiap yang dilakukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia akan mendapatkan bantuan. Maka jika ia bermuhasabah pada dirinya, akan jelas baginya apa yang dilakukan dan apa yang akan ditinggalkan. Berikutnya adalah muhasabah setelah beramal, terbagi dalam tiga macam: Pertama: muhasabah pada amal ketaatan yang ia tidak memenuhi hak Allah padanya, di mana ia tidak melakukannya sebagaimana semestinya. Hak Allah Subhanahu wa Ta’ala pada sebuah amal ketaatan ada enam: ikhlas dalam beramal, niat baik kepada Allah, mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berbuat baik padanya, mengakui nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala padanya, menyaksikan adanya kekurangan pada dirinya dalam beramal. Setelah itu semua maka ia memuhasabah dirinya, apakah ia memenuhi hak-hak itu dan apakah ia melakukannya ketika melakukan ketaatan itu? Kedua: muhasabah jiwa dalam setiap amalan yang lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan. Ketiga: muhasabah jiwa dalam perkara yang mubah atau yang biasa. Mengapa ia melakukannya? Apakah ia niatkan karena Allah dan negeri akhirat, sehingga ia beruntung? Atau ia inginkan dengannya dunia dan balasannya yang cepat sehingga ia kehilangan keberuntungan itu? Orang yang membiarkan amalnya, tidak bermuhasabah, berlarut-larut serta memudah-mudahkan perkaranya, sungguh ini akan menyampaikan dirinya kepada kebinasaan. Inilah kondisi orang-orang yang tertipu. Ia pejamkan dua matanya untuk melihat akibat amalannya, membiarkan berlalu keadaannya dan hanya bersandar pada ampunan, sehingga ia tidak bermuhasabah dan tidak melihat akibat amalnya. Kalau ia lakukan itu maka akan mudah melakukan dosa, merasa tenang dengannya, dan akan kesulitan menghindarkan diri dari dosa. Kalau ia sadari tentu akan tahu bahwa menjaga (diri dari dosa) itu lebih gampang daripada menghindari dan meninggalkan sesuatu yang menjadi kebiasaan. Pokok dari muhasabah adalah: ia memuhasabah dirinya. Terlebih dahulu pada amalan wajib, kalau ia ingat ada kekurangan pada dirinya maka segera menutupinya, mungkin dengan meng-qadha atau memperbaikinya. Lalu ia memuhasabah pada amalan-amalan yang terlarang. Kalau ia tahu bahwa ia (telah) melakukan sebuah perbuatan terlarang, segera ia susul dengan taubat, istighfar, dan melakukan amalan yang menghapusnya. Lalu memuhasabah dirinya pada kelalaiannya, kalau ternyata ia telah lalai dari tujuan penciptaan dirinya, segera ia susul dengan dzikrullah dan menghadapkan dirinya kepada Allah. Lalu ia muhasabah pada tutur katanya, pada amalan yang kakinya melangkah ke suatu tempat, atau pada apa yang dilakukan oleh kedua tangannya, dan pada perkara yang didengar oleh kedua telinganya; apa yang engkau niatkan dengan ini? Demi siapa engkau melakukannya? Bagaimana engkau melakukannya? Hendaknya ia pun tahu bahwa pasti akan dihamparkan dua catatan untuk setiap gerakan dan kata. Yaitu untuk siapa kamu melakukannya dan bagaimana kamu melakukannya? Yang pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan dan yang kedua adalah pertanyaan tentang mutaba’ah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (Al-Hijr: 92-93)
“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami). Maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).” (Al-A’raf: 6-7)
“Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka dan Dia menyediakan bagi orang-orang kafir siksa yang pedih.” (Al-Ahzab:
Jika orang-orang yang jujur ditanya dan dihitung amalnya, maka bagaimana dengan orang-orang yang berdusta? Qatadah rahimahullah mengatakan: “Dua kalimat, yang akan ditanya dengannya orang-orang terdahulu maupun yang kemudian. Apa yang kalian ibadahi? Dengan apa kamu sambut para rasul? Yakni ditanya tentang sesembahannya dan tentang ibadahnya.” Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (At-Takatsur:
Muhammad ibnu Jarir rahimahullah mengatakan: Allah mengatakan: “Kemudian pasti Allah akan bertanya kepada kalian tentang nikmat yang kalian mendapatkannya di dunia, apa yang kalian lakukan dengannya? Dari jalan mana kalian sampai kepadanya? Dengan apa kalian mendapatkannya? Apa yang kalian perbuat padanya?” Qatadah rahimahullah mengatakan: Allah Subhanahu wa Ta’ala bertanya kepada setiap hamba tentang apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan berupa nikmat-Nya dan hak-Nya. Kenikmatan yang ditanya itu ada dua macam: Pertama, nikmat yang diambil dengan cara yang halal dan dibelanjakan pada haknya, maka akan ditanya bagaimana syukurnya. Kedua, nikmat yang diambil tidak dengan cara yang halal dan dibelanjakan bukan pada haknya maka akan ditanya asalnya dan kemana dibelanjakan. Maka jika seorang hamba akan ditanya dan dihitung segala amalnya sampai pada pendengarannya, penglihatannya dan qalbunya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isra: 36)
Maka sangatlah pantas ia bermuhasabah atas dirinya sebelum ditanya dalam hisab/ perhitungan amal. Yang menunjukkan wajibnya bermuhasabah pada jiwa adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr: 18)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan: Seseorang dari kalian hendaknya melihat amalan-amalan yang ia lakukan untuk hari kiamat, apakah amal shalih yang menyelamatkannya ataukah amal jelek yang membinasakannya? Qatadah rahimahullah mengatakan: Masih saja Allah mendekatkan hari kiamat sehingga menjadikannya seolah esok hari. Maksud dari pembahasan ini adalah bahwa kebaikan qalbu adalah dengan muhasabah jiwa, dan rusaknya adalah dengan melalaikannya dan membiarkannya.
(Diterjemahkan dari Ighatsatul Lathafan, Penulis : Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah,? hal. 90-93 dengan sedikit ringkasan oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc)
______________________
Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. [QS. Al Isra' : 37]
?
Ketika seseorang tidak lagi mengintrosfeksi diri maka suatu saat dia akan terlena dan mungkin saja hanyut dalam kelalaian atau kehebatannya yang akan menyebabkan imannya lemah. Oleh karena itu, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah membuat pernyataannya:
“Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab dan timbanglah amal perbuatan kamu sebelum amal itu ditimbang.”
Oleh karena itu, seorang muslim hendaklah selalu mengintrospeksi diri dalam rangka mengoreksi sejauh mana amal-amal yang telah ia laksanakannya, atau tanggung jawabnya kepada agamanya yang telah dia terapkan.?

Beberapa Hal Yang Membatalkan Keislaman

 
Dinukil dari Lembaga Riset ilmiah dan Fatwa
disahkan oleh Samahatusy-Syaikh Muhammad Bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah
Diterbitkan Departemen Agama, Wakaf, Dakwah, dan Bimbingan Islam di Indonesia
Diedarkan di bawah pengawasan Direktorat Percetakan dan Penerbitan Indonesia
 
Saudaraku seagama! Ketahuilah, bahwa ada beberapa hal yang dapat membatalkan keislaman seseorang, dan yang paling banyak terjadi ada sepuluh macam yang wajib di hindari, yaitu:
 
Pertama :
 
Mempersekutukan Allah Subhanahu Wata'ala dalam ibadah, Allah Subhanahu Wata'ala berfirman :
 
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah Subhanahu Wata'ala, maka pasti Allah mengharamkan baginya surga dan tempatnya (kelak) adalah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun”.
 
Dan diantara perbuatan syirik tersebut ialah : berdo’a dan memohon pertolongan kepada orang-orang yang telah mati, begitu pula bernadzar dan menyembelih kurban demi mereka.
 
Kedua :
 
Barangsiapa yang menjadikan sesuatu sebagai perantara antara dirinya dengan Allah Subhanahu Wata'ala, berdo’a dan memohon syafa’at serta bertawakkal kepada perantara tersebut maka hukumnya KAFIR menurut kesepakatan para ulama (ijma’).
 
Ketiga :
 
Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau ragu akan kekafiran mereka, atau membenarkan paham (madzhab) mereka, maka dengan demikian dia telah KAFIR.
 
Keempat :
 
Barangsiapa yang berkeyakinan bahwa selain tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi wasallam itu lebih sempurna, atau selain ketentuan hukum beliau lebih baik, sebagaimana mereka yang mengutamakan aturan-aturan manusia yang melampaui batas lagi menyimpang dari hukum Allah Subhanahu Wata'ala (aturan-aturan thogut), dan mengenyampingkan hukum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi wasallam, maka yang berkeyakinan seperti ini adalah KAFIR.
 
Sebagai contoh :
 
A.
Berkeyakinan bahwa aturan-aturan dan perundang-undangan yang diciptakan manusia lebih utama daripada syari’at Islam, atau berkeyakinan bahwa aturan Islam tidak layak untuk diterapkan pada abad modern ini, atau berkeyakinan bahwa Islam adalah sebab kemunduran kaum muslimin, atau berkeyakinan bahwa Islam itu khusus mengatur hubungan manusia dengan tuhannya saja, tidak mengatur segi kehidupan lain.

B.
Berpendapat bahwa melaksanakan hukum Allah Subhanahu Wata'ala seperti memotong tangan pencuri, atau merajam pelaku zina yang telah kawin (mukhsan) tidak cocok lagi dengan zaman sekarang.

C.
Berkeyakinan bahwa boleh menggunakan selain hukum Allah Subhanahu Wata'ala dalam segi mu’amalat syari’ah (seperti perdagangan, sewa menyewa dan lain sebagainya), atau dalam hukum pidana, atau lainnya, sekalipun tidak disertai dengan keyakinan bahwa hukum-hukum tersebut lebih utama dari Syari’at Islam. Karena dengan demikian berarti ia telah menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu Wata'ala menurut kesepakatan para ulama (ijma’) sedangkan setiap orang yang menghalalkan apa yang sudah jelas dan tegas diharamkan oleh Allah Subhanahu Wata'ala dalam agama, seperti : berzina, minum khamr (segala minuman yang memabukkan), riba, dan menggunakan undang-undang selain syari’at Allah Subhanahu Wata'ala, maka ia adalah KAFIR menurut kesepakatan para ulama (ijma’).
 
Kelima :
 
Barangsiapa yang membenci sesuatu yang telah di tetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi wasallam sebagai syari’at beliau, sekalipun ia ikut mengamalkannya, maka ia menjadi KAFIR, karena Allah Subhanahu Wata'ala berfirman :
 
“Demikian itu adalah dikarenakan mereka benci terhadap apa yang diturunkan oleh Allah, maka Allah menghapuskan (pahala) segala amal perbuatan mereka.”
 
Keenam :
 
Barangsiapa yang memperolok-olok Allah Subhanahu Wata'ala, atau kitabNya, atau RosulNya, atau sesuatu yang merupakan ajaran agamaNya, maka ia menjadi KAFIR, karena Allah Subhanahu Wata'ala telah berfirman :
 
“Katakanlah (wahai Muhammad) : “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya, dan RasulNya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah KAFIR setelah beriman.”
 
Ketujuh :
 
Sihir, diantaranya adalah ilmu guna-guna (sharf) yaitu : merobah kecintaan seorang suami kepada istrinya menjadi kebencian, begitu juga ilmu pekasih (‘Athf) yaitu : menjadikan seseorang mencintai sesuatu yang tidak disenanginya dengan cara-cara syaiton. Maka barangsiapa yang mengerjakan hal-hal tersebut, atau senang dan rela dengannya berarti ia telah KAFIR, karena Allah Subhanahu Wata'ala berfirman :
 
“Sedangkan kedua malaikat itu tidak mengajarkan (suatu sihir) kepada seorangpun sebelum mengatakan, sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.”
 
Kedelapan :
 
Membantu dan menolong orang-orang musyrik untuk memusuhi kaum muslimin, karena Allah Subhanahu Wata'ala berfirman :
 
“Dan barangsiapa diantara kamu mengambil mereka (Yahudi dan Nasrani) menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzolim.”
 
Kesembilan :
 
Barangsiapa yang berkeyakinan bahwa sebagian manusia diperbolehkan tidak mengikuti syari’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi wasallam, maka ia adalah KAFIR, karena Allah Subhanahu Wata'ala berfirman :
 
“Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.”
 
Kesepuluh :
Berpaling dari agama Allah Subhanahu Wata'ala, atau dari hal-hal yang menjadi syarat mutlak sebagai muslim, dengan tanpa mempelajarinya dan tanpa mengamalkannya, karena Allah Subhanahu Wata'ala berfirman :
 “Dan siapakah yang lebih dzalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.”
 Dan Allah Subhanahu Wata'ala juga berfirman :
 “Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka.”
 Dalam hal-hal yang membatalkan keislaman ini, tidak ada bedanya antara yang main-main dan yang sungguh-sungguh sengaja melanggar dan yang karena takut, terkecuali yang dipaksa.Kita berlindung pada Allah Subhanahu Wata'ala dari hal-hal yang mendatangkan kemurkaannya dan kepedihan siksaNya.

Rabu, 01 Desember 2010

Energi Sebuah Janji

OLEH : TINTA ZAITUN
Suatu ketika dalam majelis ilmu, Ishak bin Rahweh berkata pada murid-muridnya, “sekiranya ada di antara kalian yang mengumpulkan hadits – hadits shahih dari Rasulullah.” Dan kata-kata sederhana itu teramat menghentak kesadaran salah seorang muridnya yang hadir dalam majelis tersebut, Muhammad ibnu Ismail.
Maka dari hentakan kesadaran itu melahirkan janji yang begitu melegenda. Muhammad ibnu Ismail meneguhkan komitmen dirinya bahwa dialah yanhg akan menjawab harapan sang guru. Maka ia pun menghabiskan waktu mudanya berkelana melintasi gurun menyeberangi lautan demi mengumpulkan, mencermati, dan mengklasifikasi hadits-hadits yang ia dapatkan dan merangkumnya dalam jilid rapi.
Kita mengenal sosok itu dengan sebutan Imam Bukhari. Seorang pemuda yang memenuhi janjinya dengan karya besarnya yang sering kita sebut dengan Kitab Shahih Bukhori.
Dalam sebuah kesempatan di masa mudanya Sultan Muhammad II mendapatkan sebuah momentum paling menggugah dalam hidupnya, titik yang membuat ia berjanji dan berkomitmen penuh memenuhi panggilan itu, “Konstantinopel akan dapat ditaklukkan di tangan seorang laki-laki, maka orang yang memerintah disana adalah sebaik-baik penguasa, dan tentaranya adalah sebaik-baik tentara.” (HR. Ahmad).
Maka ia bertekad membayar cita-cita besar yang terucap untuk memenuhi harapan dalam hadits itu. Cita-cita demi menjawab sabda Rasulullah itu begitu menggebu sehingga ia kerahkan seluruh kemampuannya. Ia mendidik diri dengan pendidikan jiwa, membekali akalnya dengan ilmu pengetahuan. Ia siapkan pasukan tangguh seperti dalam hadits yang menggetarkan hatinya tersebut, sebaik-baik pasukan. Berbagai peralatan perang diciptakan. Hingga akhirnya Konstantinopel takluk ditahun 1953 M. Hari itu impian besar kaum Muslimin terbayar dibawah komando seorang pemimpin muda yang luar biasa, kita mengenalnya dengan Muhammad al Fatih Murrad.
Dua kisah diatas cukuplah kita jadikan teladan yang menciptakan kesadaran padadiri kita. Mereka telah mencontohkan bagaimana sebuah impian yang ditanam dalam sanubari telah melahirkan janji untuk meraihnya. Orang-orang besar memiliki impian-impian besar, dan sebagai konsekuensinya mereka membayar dengan kerja-kerja besar untuk meraih harapan atas impian tersebut.
Hentakan harapan itu berasal dari hati. Maka ia melahirkan janji untuk ditepati. Sebuah janji melahirkan kerja-kerja besar yang memangsa usia, menghabiskan umur. Hingga karya-karya besar tercipta menjadi legenda.
Tak jarang disepanjang jalan meniti janji itu godaan datang menyapa. Itu menjadi niscaya. Dan disitulah letak kemuliaan sebuah harapan, ia diuji diatas sebuah ketahanan dan kekuatan janji yang telah dipancangkan. Impian besar memiliki godaan yang setimpal.
Maka hanya orang-orang besarlah yang akhirnya mampu melampaui segenap rintangan yang menuntut harta, luka, bahkan jiwa sebagai tebusannya.
Di jalan pencapaian, kita meniti seutas janji demi gemintang harapan.

MENYIAPKAN LEMBARAN SEJARAH

Oleh: Yosi Prastiwi

Menjadi manusia utuh sepantasnya selalu berpengharapan pada Yang Maha Berkehenda. Hidup memiliki seribu alasan untuk meraih apa yang kita citakan. Impian mengental menjadi semangat mewujudkan manusia dengan impian besar, manusia dengan agenda besar dalam hidupnya, bukan sekedar kembang tidur bagi para pemimpi.

Merencanakan cita
Rasulullah SAW memulai dakwahnya seorang diri. Seruan dakwahnya dibukit Shafa disambut cemoohan. Memang orang-orang bergegas menuju lelaki mulia ini dalam seruan yang pertama, sampai-sampai seseorang yang tidak bisa datang sendiri mengirim utusan demi melihat apa yang terjadi. Namun ketika diserunya mereka kepada agama Allah, kaum Quraisy bubar bertebaran. Bahkan Abu Lahab menemui Rasul dengan nada kasar sembari berkata, “Celakalah engkau selama-lamanya! Cuma untuk inikah engkau kumpulkan kami?” Ia yang terpercaya akhlaknya diingkari risalah kenabiannya.
Toh segala rintangan tak menyurutkan semangat beliau demi mewujudkan risalah yang diembannya. Tak ada harapan yang matipun ketika tahun kesedihan melanda. Keyakinan akan impian besarnya pantang pupus, itulah idealisme. Jika gajah sekedar meninggalkan gading maka manusia (harusnya) menorehkan jejak karya. Tunjukkan impianmu maka izinkan dunia mendoakannya disetiap hujan.

Menengok Realitas
Idealisme saja tak cukup. Tanpa menengok realitas, ia menjadi mimpi yang perfeksionis. Sekali rusak dan salah langsung dicap tanpa pengecualian. Sekalinya cacat, akan masuk dalam tong sampah kekecewaan.
Kita membaca bagaimana Rasulullah berdakwah dengan memperhatikan realitas masyarakat. Amat lembut lelaki terkasih tiu menyeru dengan kalimat yang tepat sesuai dengan bahasa dan kondisi sosial budaya setiap kaum. Meski kaum Quraisy berbuat syirik tak lantas Rasulullah terburu menghancurkan Latta dan Uzza sesembahan mereka. Tidak sebelum barisan Rasulullah, Allah menangkan dalam Fathul Makkah.
Seyogyanya realitas mampu menjadi batas keajaiban impian. Bukan sandaran hingga impian berbanding lurus pada kebutuhan pragmatis hingga hingga keyakinan akan cita luluh dan luntur. Seperti hal nya es batu yang mencari kepanasan, menjadi air, ia lebih mudah berbaur, bukan diwarnai tetapi mewarnai.

Berkaca Pada Rasionalitas
Genggamlah impian besarmu dalam letupan semangat. Lalu biarkan ia mengalir melalui sisi-sisi realitas garis Allah pada kaca-kaca rasional. Tidak ada impian yang tidak bisa diterjemahkan secara rasional jka ada kesungguhan disana.
Rasulullah bersikap rasional, menggunakan timbangan akal matang dalam mengambil keputusan-disamping beliau mendapat petunjuk berupa wahyu. Tentu bukan nalar rasional yang mementingkan landasan teoritis dibandingkan amal sehingga harus terus diperdebatkan. Bukankah satu contoh kecil lebih baik daripada seribu kata-kata seruan?
Shalahuddin Al Ayyubi pernah berkata bahwa bukan kita yang memilih takdir, takdirlah yang memilih kita. Jadikan realita impian besar kita dengan idealisme dan akal-akal rasional. Maka Allah akan membuka jalan-jalan kesungguhan.